Sekarang lagi trend topik di media sosial termasuk media cetak dan on line sedang ramai dibicarakan persoalan seorang pimpinan daerah di republik ini yang punya kebiasaan berbicara kasar seperti preman dan sikapnya yang arogan tanpa menghiraukan adab sopan santun/norma kesopanan serta etika, lebih parah lagi tingkah laku sang pempim pin itu ditayangkan live di televisi padahal jutaan pemirsa yang telah mempunyai televisi dapat melihat tayangan tersebut, Ini persoalan sepertinya hal sepele padahal menurut saya persoalan ini cukup serius, karena apa?
Berita itu tentu saja cepat tersebar luas karena teknologi alat komunikasi yang berkembang pesat, kita terkaget-kaget dan sebagian lagi bersorak sorai mendukung sang pemimpin tersebut yaitu seorang Kepala Daerah di republik ini yang sering bicara kasar dan menuduh seseorang atau sekelompok orang, tanpa fakta dan bukti yang sah, sesuai dengan aturan suatu tuduhan bukankah mesti dibuktikan terlebih dahulu di Pengadilan?
Orang tua, dewasa dan anak-anak dapat membaca dan melihat berita serta tayangan media publik itu, karena videonya banyak tersebar melalui you tube yang bisa diakses siapa pun di rumah, di warnet dimana pun serta dengan serius mereka bisa menyaksikan melalui gadget, serta handphone nya. Apakah para pemimpin di republik ini tidak menyadari bahwa perbuatan dan kebiasaan buruk sang pejabat ini akan ditiru anak-anak dan generasi muda yang jumlahnya jutaan orang karena mereka sudah mempunyai televisi di rumahnya atau lihat di TV umum, melalui hape, browsing di internet dan lain-lain??
Yang bersangkutan sering melontarkan kalimat-kalimat tuduhan dan kasar kepada siapa saja yang dia anggap menentang kebijakannya termasuk berani mengatakan DPRD sarang koruptor, dan begal DPRD dan seterusnya,,,,,, akibatnya lembaga yang merupakan presentasi warganya karena dipilih melalui Pilkada itu marah, dan ini wajar karena kalau pun misalnya ada oknumnya yang korupsi, tidak berarti semua anggotanya korupsi, masih banyak yang jujur.
Perkembangan selanjutnya tentu saja menimbulkan polemik yang berkepanjangan, saling cemooh, saling hujat dan memancing juga orang lain berbicara kasar karena dicontohkan juga oleh sang Gubernur.
Sungguh kejadian yang memprihatinkan sekaligus adalah tantangan kita bersama agar kejadian yang tidak biasa ini dan bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di negara republik Indonesia segera diselesaikan secara hukum dan lakukan selektif dalam menjaring calon-calon pejabat publik dengan sebaik-baiknya agar masalah ini tidak terulang kembali, karena jelas sekali itu bertentangan dengan norma agama, norma etika, norma kesopanan, norma adat dan norma hukum itu sendiri.
Kalau kita mau jujur maka kita harus berani mengatakan bahwa itu adalah perbuatan melanggar hukum namun oleh para petinggi negara ini dibiarkan saja, seolah-olah perbuatan ini dianggap benar adanya, padahal ini jelas melanggar hukum, mencemarkan nama baik serta melakukan fitnah.
Mesti diingat bahwa di mana pun kita bermasyarakat dan bernegara selalu ada “hukum” yaitu kaidah/norma yaitu aturan/peraturan yang timbul dari, oleh dan karena adanya pergaulan hidup manusia yang berlaku sehingga wajib ditaati oleh warganya. Jadi tentu saja sembarangan menuduh tanpa fakta adalah melanggar hukum; malah disampaikan dengan nada tinggi disertai kata-kata kasar adalah sangat tidak etis dilontarkan seorang Kepala Daerah, misalnya:…”kamu korupsi, kalian korupsi, kalian bangsat semua, nenek mu, bajingan lu, gua pecat lu, kampret lu, brengsek semua, yang salah si Anu, tahi dan banyak lagi kata-kata yang menurut penilaian kita ini ” sangat tidak sopan, vulgar, disertai dengan sikap sombong dan arogan”.
Sungguh ini suatu kejadian pertama di Republik ini seorang pemimpin Daerah apalagi di ibu kota republik Indonesia yang berperilaku tidak senonoh dan sering bicara kasar seperti itu.
Negara kita ini adalah negara hukum jadi marilah kita bersama taat dan sadar hukum, jangan lupa wahai sebagian orang jangan lupa bahwa bangsa ini masih mempunyai norma Agama , norma hukum, norma Adat, norma Kesopanan, norma Kesusilaan dan norma Etika yang harus di taati oleh bangsa ini, jadi jangan mentang-mentang hukuman bagi pelanggaran norma-norma selain norma hukum tadi tidak bersifat badan/kurungan, (hanya dikucilkan/dijauhkan dari masyarakatnya), bisa seenaknya berperilaku seperti itu. Maka pelanggaran norma etika dan norma hukum seperti yang telah dilakukan berkali-kali oleh sang pemimpin tadi seyogyanya DPRD menyelesaikan secara hukum ke Mahkamah Agung dan melaporkan secara resmi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Di bawah ini saya kutip sebagian dari tulisan Kompas.com
JAKARTA, KOMPAS.com — Pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin mengatakan, etika merupakan aspek terpenting yang harus dijaga seorang pemimpin. Tidak dibenarkan atas dasar apa pun seorang penyelenggara negara boleh melanggar etika.
“Misalnya melanggar etika dengan alasan punya niat baik. Seorang penyelenggara negara dalam kondisi apa pun harus tunduk pada sistem etika yang ada,” kata Irman saat rapat hak angket dengan agenda pemaparan keterangan saksi ahli, di Gedung DPRD, Rabu (25/3/2015).
Hal itu, kata Irman, sudah diatur dalam TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut Irman, begitu pentingnya aspek etika bagi seorang pemimpin membuat seorang pemimpin yang melanggar etika dimungkinkan untuk dimakzulkan.
Ia pun mencontohkan kasus yang dialami oleh Aceng Fikri, yang dimakzulkan dari jabatannya sebagai Bupati Garut pada 2012, hanya karena nikah siri yang dilakukannya. Saat itu, Aceng dimakzulkan oleh DPRD Garut, yang pengambilan keputusannya dilakukan oleh Mahkamah Agung pada 2012.
“Di Garut, Bupati diputuskan melanggar etika perundang-undangan dan harus turun dari jabatannya hanya karena tidak mendaftarkan pernikahannya. Dia juga tidak mendapat izin dari istri pertama. Itu putusan dari Mahkamah Agung,” ujar Irman.
Nah jelas bukan? ini adalah pelanggaran etika sebab seseorang atau pejabat/pemimpin (bhs sunda=pamimpin teh anu kudu digugu ditiru) yang artinya sesungguhnya seorang pemimpin itu mesti diturut perintahnya, tapi kalau tabiat kelakuan/perilaku pemimpin seperti ini bagaimana?,,..mau dibawa kemana negara ini?
Karena dibiarkan berlarut-larut, maka akhirnya terjadilah kegaduhan masyarakat, kegaduhan politis dan kegaduhan hukum dan pastinya obrolan, diskusi, debat dan sebagainya membicarakan kejadian ini, mereka para pemangku kebijakan pun menjadi lupa mendahulukan program pembangunan untuk mensejahterakan rakyatnya, demikian pula masyarakat pun menjadi kontra produktif karena ngaler ngidul membicarakan masalah ini yang tidak berkesudahan, misalnya obrolan dimana-mana, media sosial, televisi, koran, BBM, WhatsApp, Twitter dan lain sebagainya sampai di warung kopi.
Namun ada juga pihak yang mendukung sang pemimpin tersebut mereka beralasan pejabat yang seperti ini langka serta berani tegas dalam memberantas korupsi,,meskipun sendirian dia dan tidak takut kalau diberhentikan juga kalau dianggap salah.
Aneh juga untuk memberantas korupsi tetapi tata cara memimpinnya kasar seperti itu,,dan lebih para lagi malah mendapat pujian berlebihan pemimpin itu berani memberantas korupsi sendirian?
Selain itu berkembang pendapat para pembelanya dengan gagah berani mengatakan : ya bagus dia itu tegas tidak ada rasa takut, daripada orang-orang yang sopan tingkah laku dan ucapannya halus dan baik tetapi korupsi,,,,,,,,! Namun pertanyaannya adalah apakah semua pemimpin yang bicara tidak kasar seluruhnya korupsi? Kerangka berfikir seperti ini mesti segera diluruskan karena tidak sesuai dengan logika serta akal sehat namun lebih kepada emosional, kemudian pertanyaan lainnya apakah bisa memberantas korupsi sendirian dilakukan oleh sang Gubernur sebagai kepala daerah itu?
Akibatnya timbul prasangka negatif dari sebagian warga masyarakat bahwa lembaga legislatif DPRD itu adalah pembuat proyek fiktif dan sebagai sarang koruptor dan atau begal APBD
Hal ini juga yang menurut saya berbahaya karena telah terjadi kampanye arogansi, kesombongan dan kekasaran serta sadar atau tidak sadar menggiring masyarakat menambah semangat untuk main hakim sendiri toh? Para pakar berbagai disiplin ilmu dan elit politik serta pimpinan negara pada kemana ini, koq dibiarkan?
Sadarilah ibu-ibu dan bapak-bapak, serta saudara-saudaraku sekalian bahwa sekecil apa pun pembiaran masalah ini maka saya prediksi akan berakibat mengganggu proses mendidik bangsa ini menjadi lebih maju disertai budi pekerti yang luhur dan menghambat proses pembinaan kesadaran hukum masyarakat.
Selain itu tentu saja dikhawatirkan lambat laun akan terjadi usaha pihak-pihak tertentu yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan di rumput bawah, konflik-konflik horizontal seperti SARA dan lain-lain serta gangguan terhadap eratnya persaudaraan atau pertemanan yang sejatinya setiap waktu harus dilakukan pembinaan.
Oleh karena itu, marilah kita bersama menyelesaikan masalah ini dengan sebaik-baiknya dengan menempuh jalur hukum dan apabila setalah dilakukan penilaian pihak atasannya bahwa yang bersangkutan tidak dapat diperbaiki karena hal itu sudah menjadi tabiatnya ( bhs Sunda: “geus adat ka kurung ku nyawa”), maka ya silahkan aturan peraturan perundangan telah demikian banyak yang mengaturnya, koq repot?
Segera sebelum terlambat kita hindari hal-hal yang bisa merubuhkan nilai-nilai “berbudi pekerti luhur” yang harus kita junjung bersama, dan juga nantinya jangan sampai mengganggu eratnya rasa dan jiwa kesatuan dan persatuan bangsa ini yang telah terbina baik selama ini.
Mari kita koreksi bahwa memberantas korupsi itu tidak mungkin dilakukan seorang diri, karena di negara ini telah disahkan para penegak hukum sebagaimana diatur dalam konstitusi serta peraturan perundangan yang berlaku.
Penyampaian pesan/massage nya disampaikan sangat kasar, vulgar dengan kalimat yang provokatif disertai dengan bahasa toilet segala, adalah tidak memberi contoh yang baik kepada generasi muda dan anak-anak kita serta hal tersebut dapat dikategorikan pelanggaran terhadap norma Agama, norma hukum, norma Adat, norma Kesopanan dan Etika.
Jangan ada anggapan bahwa bahasa kasar seperti itu dan ditayangkan secara live dan tersebar di pelbagai media sosial dinilai tidak apa-apa, bagus-bagus saja kan katanya karena berjuan untuk memberantas koruptor?. Ini berbahaya efek ke depan bila dibiarkan terus, maka masyarakat secara bertahap akan terbiasa mengikuti atau menirukan seperti sang pemimpin yang bicara dengan bahasa toilet dan kalimat-kalimat kasar lainnya tadi, demikian pula mereka akan menirukan kelakuan boleh arogan, sombong/angkuh dan lain-lain!
Jadi yang akan saya bahas di sini terdapat dua masalah pokok yang berbeda yaitu Kepala Daerah yang biasa berbicara kasar di depan publik/ bila sedang diwawancarai media apalagi di shooting televisi, dan yang kedua adalah persoalan pemberantasan korupsi.
Persoalan bicara kasar: Kalimat-kalimat kasar baik itu dilakukan para pejabat publik/pemimpin termasuk elit-elit politik atau siapa saja yang mengaku tokoh masyarakat, tidak dibenarkan dengan alasan apa pun berperilaku seperti itu, karena hal tersebut termasuk melanggar Etika. Selain itu mereka yang melakukan pola tingkah laku sebagaimana telah dilakukan sang pemimpin tersebut, maka menurut saya adalah suatu pembodohan masyarakat dan sadar tidak sadar mereka telah secara sengaja atau tidak sengaja dapat dikategorikan ingin merubah tatanan masyarakat dari bangsa Indonesia yang kita cintai ini dengan sistem kepemimpinan arogan seperti itu.
Marilah kita kembali kepada tujuan bersama yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera serta masyarakat yang “berbudi pekerti luhur” yang aplikasinya adalah sifat/watak agamis, budaya gotong royong, saling tenggang rasa, hormat menghormati, sopan santun, tepo saliro, ramah tamah serta menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa.
Persoalan kedua tentang korupsi: Ada fenomena menarik untuk dicermati bila tingkah laku sang pejabat seperti itu yang mendapat simpati sebagian publik dengan alasan katanya memberantas korupsi itu perlu kalimat-kalimat tegas dan bila perlu kasar, malah sebagian lagi memujinya karena berjuang sendiri melawan koruptor yang bergentayangan dimana-mana, padahal mereka itu lupa, sebab patut dipertanyakan bagaiman seorang pemimpin sampai tidak mampu mengawasi eksekutif bahwannya sendiri? Bukankan kita patut menduga bahwa para pelaku korupsi itu termasuk anak buah sang Gubernur nya sendiri di satuan kerja pemerintah daerah /SKPD karena mereka lah yang menyusun RAPBD dimaksud!!
Rakyat awam mungkin tidak begitu hapal secara rinci siapa yang bertugas untuk menyusun RAPBD yang merupakan rekapitulasi dari hasil menjaring aspirasi seluruh warga masyarakat melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (MUSRENBANG) baik di tingkat kelurahan maupun sampai ke tingkat kecamatan, dan propinsi yang kemudian baru di bawa ke sidang DPRD untuk dilakukan pembahasan.
Eksekutif menyusunnya sejak awal konsep pra APBD sampai rancangan APBD yang kemudian dibawa dalam sidang-sidang pembahasan bersama di DPRD, setelah semua tidak ada masalah/clear disahkan dalam sidang paripurna DPRD, ditanda tangani Gubernur/eksekutif dan para pimpina DPRD/legislatif. Proses selanjutnya disampaikan kepada Presiden melalui Mendagri untuk mendapat koreksi dan persetujuannya.
Maka aneh juga bila sang pemimpin sampai kaget setelah APBD disahkan bersama, tidak mengetahui kalau dalam APBD itu terdapat proyek-proyek yang triliunan rupiah hasil permainan atau kongkalikong entah pihak mana, kita juga tidak dapat menuduh begitu saja, namun perlu ingat masa sih pemimpin yang banyak stafnya itu tidak mampu melakukan internal kontrol hanya ‘to masalah RAPBD, bagaimana pula kita bayangkan pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaanya,,,
Kalau begitu patut diduga sang pemimpin tidak mampu memimpin serta memenej staf bawahan terdekatnya, seperti Wagub, Sekda, para Asisten Sekda, dan para Kepala Dinas/Badan di bawah komando langsungnya.
Dengan demikian persoalan kedua ini tentang korupsi, tentu saja sangat berbeda dengan persoalan pertama tadi yang telah saya bahas di atas, karena masalah pemberantasan korupsi adalah tugas pokok para penegak hukum.
Jelas dalam rangka penegakkan hukum atas nama keadilan, kita tidak boleh main hakim sendiri; negara kita telah membentuk berbagai lembaga yudikatif berdasarkan konstitusi serta peraturan perundangan yang berlaku yaitu : Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.
Korupsi adalah masalah pidana berat atau extra ordinary crime dengan segala liku-likunya sangat berbeda dengan persoalan pertama tadi yaitu tentang bagaimana seorang pejabat publik yang menjabat Kepala Daerah sering bertutur kata yang tidak sopan, kasar, vulgar dan tingkah lakunya menunjukkan kesombongan, angkuh serta tidak memperhatikan norma-norma kesopanan, etika serta norma adat yang berlaku di tengah-tengah masyarakatnya.
Berdasarkan hukum yang berlaku Kepala Daerah jelas telah diatur di dalam peraturan perundangan ,,,,silahkan MENDAGRI melakukan penilaiannya demikian pula DPRD yang merupakan presentasi wakil rakyat silahkan laksanakan tugas dengan baik berdasarkan tugas pokok dan kewajiban yang telah diatur dalam peraturan perundangannya.
Semua langkah tindakan mesti berdasar memenuhi aturan hukum, jadi tidak perlu lah berlama-lama beradu argumentasi serta berdebat yang tidak karuan (bhs Sunda: marebutkeun paesan kosong) serta hindari kebiasaan saling tuduh menuduh tanpa bukti-bukti data/fakta tersebut.
Untuk memperkuat langkah hukum DPRD dalam menyelesaikan masalah ini adalah sebaiknya ajukan pelanggaran tindak pidana dan pelanggaran etika pejabat yang bersangkutan. Jangan lupa bila perlu lampirkan hasil pemeriksaan BPK/BPKP terhadap pelaksanaan anggaran APBD 2013 dan 2014 agar jelas dimana itu para koruptornya dan kita juga bisa menilai apakah sang Gubernur/dan wakilnya telah mampu memimpin?
Sebab salah satu indikator keberhasilan pimpinan itu adalah sampai sejauh mana dia dapat melakukan pengawasan melekat (internal control) dalam mencegah adanya berbagai penyimpangan, semakin banyak korupsi yang dilakukan bawahannya maka semakin jelas dia tidak berhasil dalam memimpin. Maka kemudian apakah yang bersangkutan harus mundur atau dilengserkan pun semuanya harus “sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”, atau malah mungkin dia berhasil dalam salah satu aspek kepemimpinan yaitu melakukan pengawasan, itu hal bagus sampai tidak ada korupsi/zero corruption, tetapi kebiasaan bicara kasar, arogan dan sombong itu lain lagi persoalannya, itu melanggar ETIKA
Tuduhan kamu korupsi, saya pecat, kalian brengsek “koruptor semua ” nenekmu….dan lain-lain seperti itu dapat dikategorikan pencemaran nama baik, ancam mengancam dan atau penyebaran fitnah, selain itu kita mestinya paham bahwa seseorang disangkakan sebagai koruptor semestinya dibuktikan terlebih dahulu dengan data-data dan fakta supaya jangan mencemarkan nama baik perorangan maupun lembaga, kemudian seseorang dianggap koruptor atau ditetapkan sebagai koruptor adalah hanya berdasarkan keputusan di Pengadilan.
Kesimpulan:
1.Sebagian publik menilai bagus kepada sang pejabat yang mempunyai sifat temperamental serta kebiasaan tidak sopan dan bicara kasar dengan cara emosional itu, karena mereka beralasan antara lain bahwa memberantas korupsi perlu kalimat-kalimat tegas dan bila perlu kasar, malah sebagian lagi memujinya karena berjuang sendiri melawan koruptor yang bergentayangan dimana-mana.
Padahal kemungkinan yang berpotensi korupsi termasuk anak buahnya sendiri di satuan kerja pemerintah daerah /SKPD karena memang yang menyusun APBD kan eksekutif, meskipun kita tidak menampik bisa saja siapa pun berpotensi pula menitipkan suatu proyek sebagai mana dituduhkan sang Gubernur terhadap lembaga legislatif/ DPRD misalnya dengan mengatakan:..” saya akan sikat/ habisi koruptor dan atau begal APBD di DPRD”…
2. Pemimpin harus menjadi teladan di dalam segala hal baik perilaku maupun tata cara berbicara harus memperhatikan norma kesopanan/etiket dan etika politik sebagai pejabat pemerintah sekaligus dia adalah pejabat politis, artinya dia dipilih melalui mekanisme Pilkada, terlebih lagi dia memimpin ibu kota negara RI., sehingga perilaku yang sombong, arogan serta emosional dengan sering mengeluarkan kata-kata kasar, adalah sangat tidak pantas dan tidak perlu dicontoh oleh siapa pun apalagi generasi muda yang akan memimpin bangsa dan negara ini kedepan.
Pemimpin Indonesia yang baik adalah mereka yang dapat memberi contoh suri tauladan yg baik bagi anak bangsa, berperilaku sopan-santun, ramah tamah dan seterusnya sesuai dengan “ilmu kepemimpinan” yang universal kemudian diperdalam dengan kepemimpinan khusus bagaimana memimpin bangsa yang bhineka tunggal ika ini.
Jadi kurang tepat kalau orang mengatakan ketegasan itu harus dengan cara bertutur kata yang kasar seperti preman, melainkan yang saya pelajari bahwa syarat pemimpin itu selain harus menguasai berbagai pengetahuan dan ketrampilan/ manajemen skill tetapi jangan lupa ada hal yang tidak kalah penting yaitu syarat penampilan baik/good appearance dan juga berwibawa/authority (gezag), itu adalah kuncinya.
Pemimpin tidak perlu dengan dan bertutur kata kasar, sadarlah berperilaku tegas bukan berarti selalu dengan kalimat kasar, vulgar, sombong, otoriter, arogan, namun setiap pemimpin sebaiknya berperilaku dan berbahasa yang baik, tegas namun bijak disertai dengan contoh-contoh keteladanan yang mumpuni sehingga disenangi serta disayangi bawahan/mereka yang dipimpinnya.
3. Waspadai pihak-pihak yang sedang memasyarakatkan boleh kasar dan seolah berjuang sendiri malahan juga nanti berkembang menjadi boleh main hakim sendiri, padahal berjuang untuk kebenaran diperlukan kebersamaan bukan? Pejabat dan elit politik bukan tukang sulap!
4. Ingat bangsa ini masih mempunyai norma agama, kesopanan, etika, dan adat, dan sampaikan kapan pun kita harus lestarikan dan tingkatkan, jadi jangan karena haus kekuasaan/ punya maksud politis akhirnya buta mata dan hati ternyata membela sesorang pejabat yang menghalalkan tingkah laku arogan, sombong, otoriter dan boleh bicara kasar kepada rakyatnya..
5. Pemberantasan korupsi adalah bukan tugas perorangan; itu suatu hal yang mustahil dan tidak akan berhasil, memberantas korupsi mesti dilakukan oleh seluruh penegak hukum secara sinergi dan berkesinambungan.
Tugas kita sebagai masyarakat pun dapat berpartisipasi dengan baik membantu aparat penegak hukum dengan menyampaikan laporan dan atau kesaksian yang diperlukan aparat dimaksud, kemudian juga jangan lupa para penegak hukum itu juga perlu menggiatkan pencegahan/preventif terjadinya korupsi jadi tidak semata hanya meningkatkan kegiatan represif/penindakannya. Hal ini bisa terlaksana dengan bekerja sama gait-menggait dengan lembaga/badan/komisi yang terkait dengan pengawasan misalnya PPATK, BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal dan pengawas internal dan eksternal lainnya.
Semoga seluruh jajaran para penegak hukum ini dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya secara adil sesuai dengan tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya.
27 Maret 2015
Iman Arif